Hakikat rizki
Rizki atau sering juga disebut rezeki, berasal dari kata rozaqo –
yarzuku – rizqon, yang bermakna “memberi / pemberian”. Sehingga makna
dari rizki adalah segala sesuatu yang dikaruniakan Alloh Subhanahu wa
Ta’laa kepada hamba-hamba-Nya dan dimanfaatkan oleh hamba tersebut.
Dari pengertian di atas dapat difahami bahwa yang termasuk dalam
ketagori rizki, tidak terbatas hanya pada besar kecilnya gaji dan
pendapatan atau banyak tidaknya harta maupun uang yang tersimpan. Tetapi
makna rizki lebih luas daripada itu. Kesehatan tubuh dan jiwa, udara
yang kita hirup, air hujan yang turun, keluarga yang menyenangkan,
kepandaian, terhindarnya dari kecelakaan atau musibah, dan lain
sebagainya adalah bagian dari rizki Alloh Subhanahu wa Ta’laa.
Termasuk juga turunnya hidayah Islam pada diri seorang hamba,
pemahaman akan ilmu agama, terbukanya pintu-pintu amal sholih dan bahkan
khusnul khotimah dan mati syahid juga merupakan bagian dari rizki yang
tiada tara. Dan masih banyak lagi karunia Alloh Subhanahu wa Ta’laa yang
sangat luar biasa, yang di-karuniakan kepada hamba-hamba-Nya dan tidak
mungkin terhitung.
Setelah kita memahami makna dari rizki, tentu tidak ada alasan bagi
kita untuk tidak bersyukur kepada Ar Roziq (Maha Pemberi Rizki). Semua
makhluk pasti mendapatkan rizkinya. Entah dia manusia yang beriman atau
kafir, kelompok jin yang taat atau jin syetan, semua binatang, para
malaikat, tumbuhan dan semua makhluk-Nya yang Dia ciptakan. Hal ini
menunjukkan asma dan sifat-Nya Ar Rohman (Maha Pengasih).
Rizki Alloh Subhanahu wa Ta’laa pasti terus mengalir. Tidak ada satu
makhlukpun yang sanggup menghalangi berjalannya rizki pada seseorang
bila, Alloh Subhanahu wa Ta’laa menghendaki itu terjadi pada seseorang.
Begitu pula sebaliknya, tidak ada satu makhlukpun yang sanggup
memberikan rizki pada seseorang, bila Alloh Subhanahu wa Ta’laa
menghendaki hal itu tidak terjadi padanya. Kepastian datangnya rizki di
dunia, seiring kepastian nyawa hadir pada diri seorang makhluk. Atau
kata lainnya, tanda rizki dunia seseorang itu habis adalah hadirnya
kematian padanya.
Bila rizki sudah tetap, lalu kenapa dibutuhkan kunci-kunci rizki?
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
…ثمُ َّيُرْسَلُ إلِيَهِْ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيْهِ الرُّوْحُ
وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَات : بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ
وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيْدٌ …
“…Kemudian diutuslah malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal : menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan apakah ia celaka atau bahagia…”
(HR. Bukhori dan Muslim)
“…Kemudian diutuslah malaikat kepadanya untuk meniupkan ruh kepadanya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal : menulis rizkinya, ajalnya, amalnya dan apakah ia celaka atau bahagia…”
(HR. Bukhori dan Muslim)
Memang ada empat perkara ketetapan Alloh Subhanahu wa Ta’laa yang
terjadi pada diri manusia, dimana tidak ada satu manusiapun yang bisa
merubah hal itu, yaitu rizki, ajal, amal dan celaka dimana manusia tidak
ada yang bisa untuk memahaminya kecuali atas izin Alloh Subhanahu wa
Ta’laa. Empat perkara di atas adalah permasalahan ghoib yang tidak ada
makhluk yang mengetahuinya selain Alloh Subhanahu wa Ta’laa.
Sementara itu, berkenaan dengan rizki, jodoh, amal serta kebahagiaan,
manusia hanya diberi kesempatan untuk menentukan pilihan dan
berikhtiyar untuk mengusahakan sebab agar terpenuhinya segala
pi-lihannya. Sedangkan hasil, kembalinya tetap kepada takdir Alloh
Subhanahu wa Ta’laa. Manusia tidak akan bisa memastikan akan hidup
selamanya walaupun dia berusaha semaksimal mungkin untuk memperpanjang
usianya. Manusia tidak akan bisa menjamin akan miskin dan sengsara
selamanya, kalau Alloh Subhanahu wa Ta’laa mentakdirkan dia menjadi kaya
atau bahagia di waktu tertentu, begitu pula sebaliknya.
Segala bentuk usaha / ikhtiyar yang dilakukan manusia di dalam meraih
pilihannya, dinilai sebagai ibadah bila dilaksanakan karena Alloh
Subhanahu wa Ta’laa dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ajaran
Islam. Walaupun terkadang hasil yang dia capai dari ikhtiyarnya tersebut
tidak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Tapi yang harus ada pada
hati setiap muslim, adalah sikap husnudzon (prasangka baik) kepada Alloh
Subhanahu wa Ta’laa. Apa yang Dia pilihkan untuk makhluknya, adalah
yang terbaik bagi makhluk tersebut. Alloh Subhanahu wa Ta’laa tidak
mungkin salah dalam memberikan suatu ketetapan.
Banyak hikmah yang diambil dari ditentukannya kunci-kunci rizki :
-Akan lebih melapangkan jalan rizki, yang sebelumnya terasa sempit.
-Seandainya secara lahir, jalan rizki belum lapang, bisa jadi dengan kunci-kunci rizki yang diusahakan, akan menambah sikap qonaah (menerima segala takdir Alloh Subhanahu wa Ta’laa) di hati.
-Dengan kunci-kunci rizki, maka akan menambah barokah rizki yang didapat manusia, walupun menurut ukuran lahir, rizki tersebut sangat sedikit.
-Bila di dunia ini belum terkabulkan apa yang kita usahakan akan atau kebahagiaan. Tetapi wajib difahami juga, bahwa empat hal di atas adalah meliputi ilmu Alloh Subhanahu wa Ta’laa berkenaan dengan kunci-kunci rizki, maka bisa jadi Alloh Subhanahu wa Ta’laa akan menggantinya di akhirat kelak.
-Dengan mengusahakan kunci-kunci rizki seperti yang disyariatkan Alloh Subhanahu wa Ta’laa, maka bertambah pula amal sholih kita.
-Dan fadhilah-fadhilah lain yang Alloh Subhanahu wa Ta’laa janjikan pada umat-Nya yang selalu beramal sholih.
-Akan lebih melapangkan jalan rizki, yang sebelumnya terasa sempit.
-Seandainya secara lahir, jalan rizki belum lapang, bisa jadi dengan kunci-kunci rizki yang diusahakan, akan menambah sikap qonaah (menerima segala takdir Alloh Subhanahu wa Ta’laa) di hati.
-Dengan kunci-kunci rizki, maka akan menambah barokah rizki yang didapat manusia, walupun menurut ukuran lahir, rizki tersebut sangat sedikit.
-Bila di dunia ini belum terkabulkan apa yang kita usahakan akan atau kebahagiaan. Tetapi wajib difahami juga, bahwa empat hal di atas adalah meliputi ilmu Alloh Subhanahu wa Ta’laa berkenaan dengan kunci-kunci rizki, maka bisa jadi Alloh Subhanahu wa Ta’laa akan menggantinya di akhirat kelak.
-Dengan mengusahakan kunci-kunci rizki seperti yang disyariatkan Alloh Subhanahu wa Ta’laa, maka bertambah pula amal sholih kita.
-Dan fadhilah-fadhilah lain yang Alloh Subhanahu wa Ta’laa janjikan pada umat-Nya yang selalu beramal sholih.
Diantara hal yang menyibukkan hati kebanyakan umat Islam adalah
mencari rizki (yang bersifat materi dan kemapanan duniawi). Sejumlah
besar umat Islam memandang bahwa berpegang dengan Islam akan mengurangi
rizki mereka. Tidak hanya sebatas itu, bahkan lebih parah dan
menyedihkan lagi bahwa ada sejumlah orang yang masih mau menjaga
sebagian kewajiban syari’at tetapi mereka mengira bahwa jika ingin
mendapatkan kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya
menutup mata dari sebagian hukum Islam. Na’udzu billahi min dzalik.
Kunci – Kunci Rizki
1. Istighfar dan Taubat
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Maka aku katakan kepada mereka,”Mohonlah ampun kepada Robb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan yang lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan me-ngadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
(QS. Nuh : 10-12).
“Maka aku katakan kepada mereka,”Mohonlah ampun kepada Robb-mu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan yang lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan me-ngadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
(QS. Nuh : 10-12).
Ibnu Katsir berkata,”Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Alloh,
meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa menta’ati-Nya, niscaya
Dia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan hujan serta keberkahan
dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan
tumbuhan-tumbuhan untuk kalian, membanyakkan anak dan melimpahkan air
susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk
kalian, menjadikan kebun-kebun yang di da-lamnya bermacam-macam
buah-buahan untuk kalian serta menga-lirkan sungai-sungai di antara
kebun-kebun itu.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4 / 449)
Sebagian umat Islam menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah
cukup dengan lisan semata, dengan hanya memperbanyak kalimat,
“Astaghfirullohal ‘adzim”. Tetapi kalimat itu tidak membe-kas di dalam
hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya
istighfar dan taubat ini adalah taubatnya orang yang dusta.
Imam An Nawawi menjelaskan,”Para ulama berkata,”Bertaubat dari segala
dosa adalah wajib. Jika dosa itu antara hamba dengan Alloh, yang tidak
ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga,
-pertama, hendaknya ia menjauhi dosa (maksiat) itu, -dua, ia harus
menyesali perbuatan dosa itu, -tiga, ia harus berkeinginan untuk tidak
mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang maka taubatnya tidak sah.
Jika taubat itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat.
Ketiga syarat di atas dan -ke empat, hendaknya ia membebaskan diri
(memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau
sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa (had) hukuman
tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk
membalas-nya atau meminta maaf padanya. Jika berupa ghibah (menggunjing)
maka ia harus meminta maaf.”
(Riyadush Sholihin).
(Riyadush Sholihin).
2. Taqwa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Barangsiapa bertaqwa kepada Alloh, niscaya Dia akan mengada-kan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Tholaq : 2-3 )
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata,”Maknanya, barangsiapa bertaqwa kepada Alloh dengan melakukan apa yang diperinyahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Alloh akan memberi-nya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ath Tholaq : 2-3).
“Barangsiapa bertaqwa kepada Alloh, niscaya Dia akan mengada-kan jalan keluar baginya dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (QS. Ath Tholaq : 2-3 )
Al Hafidz Ibnu Katsir berkata,”Maknanya, barangsiapa bertaqwa kepada Alloh dengan melakukan apa yang diperinyahkan-Nya dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya, niscaya Alloh akan memberi-nya jalan keluar serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak pernah terlintas dalam benaknya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, QS. Ath Tholaq : 2-3).
Para ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di
antaranya, Imam Ar Roghib Al Ashfahani berkata,”Taqwa yaitu menjaga jiwa
dari perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa
yang dilarang, dan menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang
dihalalkan.”
(Al Mufrodat fie Ghoribil Qur’an)
(Al Mufrodat fie Ghoribil Qur’an)
Orang yang melihat dengan kedua bola matanya apa yang diharam-kan
Alloh, atau mendengarnya dengan kedua telinganya apa yang di-murkai
Alloh Subhanahu wa Ta’laa, atau mengambilnya dengan kedua tangannya apa
yang tidak diridloi Alloh Subhanahu wa Ta’laa, atau berjalan ke tempat
yang di kutuk Alloh Subhanahu wa Ta’laa, berarti ia tidak menjaga
dirinya dari dosa.
Jadi, orang yang membangkang perintah Alloh Subhanahu wa Ta’laa serta
melakukan apa yang dilarang-Nya, dia bukanlah termasuk orang-orang yang
bertaqwa. Orang yang menceburkan diri ke dalam maksiat, sehingga ia
pantas mendapat murka Alloh Subhanahu wa Ta’laa, maka ia telah
mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang yang bertaqwa.
3. Tawakkal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Alloh, niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Alloh telah menga-dakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS. Ath Tholaq : 3) Menafsirkan ayat tersebut, Ar Robi’ bin Khutsaim berkata,”(mencu-kupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia.”
(Syarhus Sunnah, 14 / 298)
“Dan barangsiapa bertawakkal kepada Alloh, niscaya Alloh akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Alloh melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Alloh telah menga-dakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS. Ath Tholaq : 3) Menafsirkan ayat tersebut, Ar Robi’ bin Khutsaim berkata,”(mencu-kupkan) dari setiap yang membuat sempit manusia.”
(Syarhus Sunnah, 14 / 298)
Menjelaskan makna tawakkal para ulama berkata, diantaranya Imam
Ghozali, Beliau berkata,”Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada
“WAAKIL” (yang ditawakkali) semata.”
(Ihya’ Ulumuddin, 4 / 259)
(Ihya’ Ulumuddin, 4 / 259)
Al Allamah Al Manawi berkata,”Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali.”
(Faidhul Qodir, 5 / 311)
(Faidhul Qodir, 5 / 311)
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكَّلِهِ
لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُوْ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ
بِطَانًا
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)
“Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Alloh sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban)
Sebagian manusia ada yang berkata,”Jika orang yangbertawakkal kepada
Alloh itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan
mencari penghidupan. bukankah kita cukup duduk-duduk dan
bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit.”
Perkataan ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya
tentang hakekat tawakkal. Imam Ahmad berkata,”Dalam hadits tersebut
tidak ada isyarat yang membolehkan untuk meninggalkan usaha. Sebaliknya
justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki.
Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal pada
Alloh dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka
mengeta-hui bahwa kebaikan (rizki) itu di tangan-Nya, tentu mereka tidak
akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat,
sebagaimana burung-burung tersebut.”
(Tuhfatul Ahwadzi, 7 / 8)
(Tuhfatul Ahwadzi, 7 / 8)
Imam ahmad menambahkan,”Para shahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan merekalah teladan kita.”
(Fathul Bari, 11 / 305-306)
(Fathul Bari, 11 / 305-306)
4. Beridah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’laa sepenuhnya
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
إِنَّ اللهَ تَعَلىَ يَقُولُ : يَاابْنَ آدَمَ تَفَرَّغْ لِعِبَدَتِى
أَمَْـَلأُصَدْرَكَ غِنىً, وَأَسُدُّ فَقْرَكَ. وَإِنْ لاَ تَفْعَلْ
مَلَأْتُ يَدَكَ شُغْلاً, وَلَمْ أَسُدَّ فَقْرَكَ
“Sesungguhnya Alloh Ta’laa berfirman,”Wahai anak Adam. Beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku ! Niscaya Aku penuhi di dalam dada dengan kekayaan dan aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak aku penuhi kebutuhanmu.” (HR. Ibnu Majah)
“Sesungguhnya Alloh Ta’laa berfirman,”Wahai anak Adam. Beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku ! Niscaya Aku penuhi di dalam dada dengan kekayaan dan aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya aku penuhi tanganmu dengan kesibukan dan tidak aku penuhi kebutuhanmu.” (HR. Ibnu Majah)
Al Mulla Ali Al Qori menjelaskan makna hadits -تَفَرَّغْ لِعِبَدَتِى –
“beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku.”, Beliau berkata,”Makna-nya,
jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya (konsentrasi) untuk beribadah
kepada Robb-mu.” (Murqotul Mafatih, 9 / 26)
Hendaknya seseorang tidak mengira bahwa yang dimaksud beribadah
sepenuhnya adalah dengan meninggalkan usaha untuk mendapatkan
penghidupan dan duduk di masjid sepanjang siang dan malam. Hendaknya
seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu’ dan
merendahkan diri dihadapan Alloh Maha Esa. Menghadirkan hati, betapa
besar keagungan Alloh Subhanahu wa Ta’laa.
5. Melajutkan Haji dengan Umroh atau sebaliknya
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وِالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ
الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيْرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ
“Lanjutkanlah haji dengan umroh atau sebaliknya. Karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat mengilangkan kotoran besi.”
(HR. An Nasa’i)
“Lanjutkanlah haji dengan umroh atau sebaliknya. Karena sesungguhnya keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat mengilangkan kotoran besi.”
(HR. An Nasa’i)
Syaikh Abul Hasan As Sindi menjelaskan haji dengan umroh atau
sebaliknya, berkata,”Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain,
dimana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji
maka tunaikanlah umroh. Dan jika kalian menunaikan umroh maka
tunaikanlah haji, sebab keduanya saling mengikuti.”
(Hasyiyatul Imam As Sindi ‘ala Sunan An Nasa’i, 5 / 115)
(Hasyiyatul Imam As Sindi ‘ala Sunan An Nasa’i, 5 / 115)
Sedangkan Imam Ath Thoyyibi dalam menjelaskan sabda Nabi r:
فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ
“…Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa…”
“Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta.”
(Faidhul Qodir, 3 / 225)
فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ
“…Sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa…”
“Kemampuan keduanya untuk menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan bersedekah dalam menambah harta.”
(Faidhul Qodir, 3 / 225)
6. Silaturrahim
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُسْطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (diperpanjang usianya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahmi.” (HR. Bukhori)
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُسْطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (diperpanjang usianya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturrahmi.” (HR. Bukhori)
Makna “ar rahim” adalah para kerabat dekat. Al Hafidz Ibnu Hajar
berkata,”Ar rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat
dekat. Antar mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik berhak
mewarisi atau tidak, dan sebagai mahrom atau tidak. Menurut pendapat
lain, mereka adalah “maharim” (para kerabat dekat yang haram dinikahi)
saja. Pendapat pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua,
anak-anak paman dan anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak
termasuk yang haram dinikahi, padahal tidak demikian.”
(Fathul Bari, 10 / 14)
(Fathul Bari, 10 / 14)
Silaturrahim, sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qori adalah
kinayah (ungkapan / sindiran) tentang berbuat baik kepada para kerabat
dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut
dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka. (Murqotul Mafatih, 8 /
645)
7. Berinfaq di Jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Alloh akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.”
(QS. Saba’ : 39)
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Alloh akan menggantinya dan Dialah Pemberi rizki yang sebaik-baiknya.”
(QS. Saba’ : 39)
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas,”Betapapun sedikit
apa yang kamu infaqkan dari apa yang diperintahkan Alloh kepadamudan
apa yang diperbolehkan-Nya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di
dunia, dan di akhirat engkau akan diberi pahala dan ganjaran.” (Tafsir
Ibnu Katsir, 3 / 595)
Syaikh Ibnu Asyur berkata,”Yang dimaksud dengan infaq di sini adalah
infaq yang dianjurkan dalam agama. Seperti berinfaq kepada orang-orang
fakir dan berinfaq di jalan Alloh untuk menolong agama.” (Tafsirut
Tahrir wa Tanwir, 22 / 221)
8. Memberi Nafkah kepada Orang yang Sepenuhnya Menuntut Ilmu Syari’at (Agama)
كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولُ اللهِ r,فَكَانَ أَحَدُهُمَا
يَأْتِى النَّبِي r, وَاْلآخِرُ يَحْتَرِفُ, فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ
إِلَى النَّبِى , فَقَالَ r: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
“Dahulu ada dua orang bersaudara pada masa Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam . Salah seorang dari mereka mendatangi Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam (untuk menuntut ilmu) dan (saudaranya) yang lain pergi bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu pada Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam . Maka Beliau Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda,”Mudah-mudahan engkau diberi rizki karena sebab dia” (HR. Tirmidzi)
“Dahulu ada dua orang bersaudara pada masa Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam . Salah seorang dari mereka mendatangi Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam (untuk menuntut ilmu) dan (saudaranya) yang lain pergi bekerja. Lalu saudaranya yang bekerja itu mengadu pada Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam . Maka Beliau Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda,”Mudah-mudahan engkau diberi rizki karena sebab dia” (HR. Tirmidzi)
Al Mulla Ali Al Qori menjelaskan sabda Nabi Sholallohu ‘alaihi was salam :
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”…Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia”
“Yang menggunakan shighot majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata, yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebe-narnya diberi rizki karena berkahnya. Dan bukan berarti dia(si penuntut ilmu) diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaanmu kepadanya.”
(Murqotul Mafatih, 9 / 171)
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”…Mudah-mudahan engkau diberi rizki dengan sebab dia”
“Yang menggunakan shighot majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata, yakni, aku berharap atau aku takutkan bahwa engkau sebe-narnya diberi rizki karena berkahnya. Dan bukan berarti dia(si penuntut ilmu) diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaanmu kepadanya.”
(Murqotul Mafatih, 9 / 171)
9. Berbuat Baik pada Orang yang Lemah
Mush’ab bin Sa’d Rodliallohu ‘anhu berkata : “Bahwasanya Sa’d
Rodliallohu ‘anhu merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain,
maka Rosululloh Sholallohu ‘alaihi was salam bersabda :
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ بِضُعَفَا ئِكُمْ
“Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang yang lemah diantara kalian ?” (HR. Bukhori)
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ بِضُعَفَا ئِكُمْ
“Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang yang lemah diantara kalian ?” (HR. Bukhori)
Karena itu, siapa yang ingin ditolong Alloh dan diberi rizki oleh-Nya
maka hendaklah ia memuliakan orang-orang yang lemah dan berbuat baik
kepada mereka.”
(Shohihul Bukhori)
(Shohihul Bukhori)
10. Hijrah di Jalan Alloh Subhanahu wa Ta’laa
Alloh Subhanahu wa Ta’laa berfirman :
“Barangsiapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.”
(QS. An Nisa : 100)
“Barangsiapa berhijrah di jalan Alloh, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.”
(QS. An Nisa : 100)
Qotadah berkata,”Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk, dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan.”
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)
Imam Al Qurthubi berkata,”Sebab, keluasan negeri dan banyaknya
bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kela-pangan dada
yang siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain yang
menunjukkan kemudahan.”
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)
(Tafsir Al Qurthubi, 5 / 348)
Imam Ar Roghib Al Ashfahani berkata bahwa hijrah adalah keluar dari
negeri kafir kepada negeri yang iman, sebagaimana para shahabat yang
berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Sayid Muhammad Rosyid Ridlo mengatakan bahwa hijrah di jalan Alloh
Subhanahu wa Ta’laa harus dengan sebenar-benarnya. Artinya, maksud orang
yang berhijrah dari negerinya itu adalah untuk mendapatkan ridho Alloh
Subhanahu wa Ta’laa dengan menegakkan agam-Nya yang ia merupakan
kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Alloh Subhanahu
wa Ta’laa, juga untuk menolong saudara-saudaranya yang beriman dari
permusuhan orang-orang kafir.
Wallohu A’lam bish Sowwab
Wallohu A’lam bish Sowwab
Dinukil dari Mafathiihur Rizq fii Dhau’il – DR. Fadhl Ilahi
0 comments:
Post a Comment
Jangan Lupa Memberikan Komentar, Namun Tolong Agar Menggunakan Bahasa Yang BAIK dan SOPAN Terima Kasih...